Rabu, 06 Mei 2015

☀ Pengertian Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan Perbedaannya




BAB I : Pendahuluan.

a)      Latar belakang.

Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia; baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun muamalah berupa tindak pidana maupun perdata, masalah akad atau pengelolaan, dalam syariat islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Al Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi syariat islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.


Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan manusia yang diambil dari nash-nash yang ada atau dari pembentukan hukum berdasarkan dalil syarat yang tidak ada nashnya, terbentukalah “Ilmu Fiqih”. 
Ilmu Fiqih menurut  syara’ adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya secara detail.

Berdasarkan penelitian, para ulama telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syariat yang sebangsa perbuatan itu ada empat yaitu :
1.      Al-Qur’an,
2.      Al-Sunnah,
3.      Al-Ijma, dan
4.      Al-Qiyas.
Dan bahwa sumber  pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syariat adalah al-Qur’an kemudian al-Sunnah sebagai penjelas atas keglobalan al-Qur’an, pembatasan keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerangan serta penyempurna. Dari keseluruhan kaidah dan hasil penelitian tentang hukum islam, maka terlahirlah  Ushul Fiqih.

Ushul fiqih adalah kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci. Untuk lebih jelasnya saya akan membahas tentang Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan perbedaannya pada bab selanjutnya.

BAB II : Pembahasan.

1.      Ilmu Fiqih.

A.     Pengertian Ilmu Fiqih.

Fiqih menurut bahasa bermakna : tahu dan paham, sedangkan menurut istilah, banyak ahli fiqih (fuqoha’) mendefinisikan berbeda-beda tetapi mempuyai tujuan yang sama diantaranya :
Ulma’ Hanafi mendifinisikan fiqih adalah :
 “Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan amalan para mukalaf”.
Sedangkan menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih (ilmu fiqih) itu ialah:
“Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari  dalil-dalil yang jelas (tafshili)”.
Sedangkan Jalalul Mahali mendifinisikan fiqih sebagai :
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan memperolehnya dari dalil yang jelas (tafshili)”.
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf pengertian fiqih adalah :
“Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam memngenahi perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci”.

Jadi dapat disimpulkan dari difinisi-definisi di atas, Fiqih adalah : Ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam.

Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan/ membahas/ memuat hukum-hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Dengan demikian berarti bahwa fiqih itu merupakan formulasi dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu berbentuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).

B.     Objek Kajian Fiqih.

Hukum yang diatur dalam fiqih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.

Meskipun ada perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang sama.

Karena rumusan fiqih itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik (bab-bab) kajian fiqih.

Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqih secara awam, objek pembahasan fiqih itu adalah empat, yang sering disebut Rubu diantaranya :
1)      Rubu’ibadat;
2)      Rubu‘muamala;
3)      Rubu’munakaha, dan
4)      Rubu’jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja, yaitu : bab ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat.

Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) objek kajian :
a)      Ibadah.
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini:
1)      Tharah (bersuci);
2)      Ibadah (sembahyang);
3)      Shiyam (puasa);
4)      Zakat;
5)      Haji, dan lain-lain.

b)      Ahwalusy Syakhshiyyah.
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan :
1)      Nikah;
2)      Khitbah;
3)      Mu’asyarah;
4)      Talak;
5)      Fasakh, dan lain-lain.

c)      Muamalah Madaniyah.
Biasanya disebut muamalah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah :
1)      Buyu’ (jual-beli);
2)      Khiyar;
3)      Riba’;
4)      Sewa- menyewa;
5)      Pinjam meminjam;
6)      Waqaf, dan lain-lain.
* Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah, tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.

d)      Muamalah Maliyah.
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi :
1)      Status milik bersama baitul mal;
2)      Sumber baitul mal;
3)      Cara pengelolaan baitul mal, dan lain-lain.

e)      Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukum).
Biasanya dalam kitab-kitab fiqih ada yang menyebut jinayah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi :
1)      Pelanggaran;
2)      Qishash;
3)      Diyat;
4)      Hukum pelanggaran, kejahatan, dan lain-lain.

f)        Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi :
1)      Peradilan dan pendidikan;
2)      Hakim dan Qadi;
3)      Gugatan;
4)      Pembuktian dakwah;
5)      Saksi, dan lain-lain.

g)      Ahkamud Dusturiyyah.
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi :
1)      Kepala Negara dan waliyul amri;
2)      Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3)      Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4)      Hak dan kewajiban rakyat;
5)      Musyawarah dan demokrasi;
6)      Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.

h)      Ahkamud Dualiyah (hukum internasional).
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi :
1)      Hubungan antar negara, sesama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2)      Ketentuan untuk orang dan damai;
3)      Penyerbuan;
4)      Masalah tawanan;
5)      Upeti, Pajak, rampasan;
6)      Perjanjian dan pernyataan bersama;
7)      Perlindungan;
8)      Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9)      Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya objek kajian fiqih. dapatlah kita bayangkan seluas apa pula ruang lingkup pengajaran agama.

C.     Tujuan fiqih.

Tujuan Ilmu Fiqih adalah menerapkan hukun syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukhallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia. juga mengenalkan kepada mikallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya. Dengan ilmu fiqih, kita dapat mengetahui bagaimana kita menyelenggarakan nikah, talak, bagaimana memelihara jiwa, harta dan kehormatan, tegasnya menetahui hukum-hukum yang harus berlaku dalam masyarakat umum.

2.      Ushul Fiqih.

A.     Pengertai Ushul Fiqih.

Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek : Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yakni kata Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl dan kata Fiqih, yang masing-masing memiliki pengertain luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.

Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini :
1)      Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa ashl dari wajib shalat lima waktu  adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasull.
2)      Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperta sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
3)      Rajah, yakni terkuat, seperti dalam ungkapan ushul fiqih: “yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakekatnya”.
Maksudnya, yakni menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4)      Mustashhab, yakni memperlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?. Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5)      Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul ”anak adalah cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, 1:5).

Dari kelima pengertian ashl di atas, yang bisa digunakam adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih. Adapun secara etimologi, fiqih berarti : “mengerti atau paham”. Yang dimaksud mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘fiqih’ dalam Al-Qur’an di antaranya surat Hud : 91, “Mereka (penduduk Madyan) berkata : hai Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan.” Dan surat An Nisa’ : 78, “Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”.



Sebagai sebutan dari sebuah ilmu, ushul fiqh adalah : sebuah ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk mencetuskan hukum fiqh sesuai cakupan kaidah dan dalil itu. Kaidah adalah : diskursus umum yang mencakup hukum partikular (juz’i), dengan kaidah inilah hukum juz’I dapat diketahui .


Kaidah “Al-Amru yufid al-wujub illa idza sharafathu qarinatuh ‘an dzalik” (Amar (perintah) menunjukkan wajib, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari wajib). Kaidah ini mencakup semua nash partikular. Seperti firman Allah yang artinya:
 “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu…” (Al Maidah : 1). Dan
 “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah pada Rasul…” (An Nur : 59)
semua kata yang menunjukkan amar (perintah) masuk dalam kategori kaidah di atas.



Dengan kata amar itulah hukum wajib dalam ayat-ayat itu dapat diketahui. Seperti wajibnya menepati janji, wajibnya shalat, menunaikan zakat dan taat pada Rasull.


Contoh kaidah : “Nahi (larangan) menunjukkan haram, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari haram”. Kaidah ini mencakup semua nash yang nenujukkan kata nahi (larangan), dengan kata nahi itulah hukum haram dalam nash-nash itu dapat diketahui. Seperti firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu mendekati zina…” (Al Isra’: 32) dan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara batil.” (An-Nisa’ : 29), dengan kaidah itu, maka diketahui bahwa hukum melakukan zina adalah haram, begitu pula makan harta dengan cara batil.

Dengan contoh kaidah di atas, seorang mujtahid dapat mencetuskan hukum fiqih, yakni mencetuskan hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Jika misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukumnya shalat, maka ia membaca firman Allah SWT, “Aqiimu ash-shalah” (dirikanlah shalat). Karena kata (Aqiimu) adalah bentuk amar (perintah), maka kaidah “amar menunjukkan wajib, kecuali ada indikasi lain” diterapkan, dari penerapan itu kemudian diketahui bahwa hukum melaksanakan shalat adalah wajib.

Yang dimaksud dengan dalil ijmal (umum) adalah sumber-sumber hukum syariah, seperti Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi). Mengetahui dalil ijmal berarti mengetahui argumentasi dan kedudukannya dalam proses pengambilan dalil, mengetahui apa yang ditunjukkan oleh nash, makna dan syarat ijma’, macam-macam Qiyas dan ‘illat-nya (indikasi), metode menemukan ‘illat dan sebagainya.

Ulama ushul membahas dalil ijmal yang menunjukkan (memiliki dalalah) hukum syariah. Ulama fiqh membahas dalil juz’i untuk mencetuskan hukum juz’i dengan bantuan kaidah ushul dan mengaitkannya dengan dalil ijmal. Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan defenisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).

Para ahli hukum islam, dalam memberikan definisi ushul fiqih beraneka ragam, ada yang menekankan pada fungsi ushul fiqih itu sendiri. Dan ada pula yang menekankan pada hakekatnya, namun pada prinsipnya sama yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara global dengan semua seluk beluknya, diantaranya;

Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama syafi’iyah (juz 1:16) bahwa yang dimaksud ushul fiqih adalah “ ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya”.
·        Ibnu Al-subki (juz 1:25) mendefinisikan ushul fiqih sebagai “himpunan dalil fiqih secara global”.
·        Jumhur ulama ushul fiqih mendefinisikan ushul fiqih adalah “himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya”. Pendapat ini dikemukakan oleh syaikh Muhammad Al-khuhary beik, seorang guru besar universitas Al-azhar kairo.
·        Kamaludin ibnu humam dari kalangan ulama hanafiyah mendefinisikan ushul fikih sebagai pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih”.
·        Abdul wahab khalaf, seorang guru besar hukum di universitas kairo mesir menyatakan bahwa ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.
·        Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqih”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqih" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

B.     Objek Kajian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqih.

Yang menjadi objek utama dalam pembahasan Ushul Fiqih ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.

Objek kajian dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqih ini meliputi :
a)      Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b)      Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c)      Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d)      Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
d)      Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e)      Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f)        Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g)      Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h)      Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.

C.     Tujuan  dan Kegunaan Ushul Fiqih

Tujuan ushul fiqih adalah menerapakan kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat difahami nash-nash syara’ dan dengan hukum-hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash tersebut dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara sebagian nash dengan yang lain.

Sesuatutu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushul Fiqih ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqih sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqih tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.

Ushul Fiqih itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqih orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqih itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.

Adapun kegunaan Usul Fiqh adalah :
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya, prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.

Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.

3.      Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

 Jelaslah perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih, bahwa ushul fiqih merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan  dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqih" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqih" yang berarti asal-usul Fiqih. Maksudnya, pengetahuan Fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqih.

Pengetahuan Fiqih adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqih. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqih.

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

BAB III : Penutupan

A.     Simpulan

Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa ushul fikih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objaknya selalu dalil dan hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukhalaf yang diberi status hukumnya walaupun ada titik kesamaan yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara petunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.

B.     Saran

Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan saran demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi yang ingin menambahkhazanah, kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki apa yang telah disusunnya. Sehingga mudah-mudahan untuk waktu kedepannya, penyusun bisa lebih baik.

BAB IV : Daftar Pustaka

Ø  Prof. Dr. Rachmat Syafe’I,MA. 1998.  Ilmu Ushul fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Ø  Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. 1974. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amanah.
Ø  Prof. Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus. 

Sumber : http://larasgemilangputri.blogspot.com/2013/

※ Ya Allah... semoga yang membaca artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤ Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin ya Rabbal'alamin.

Salam buat isteri :
‘Siti Nurjanah’