BAB I : Pendahuluan.
a)
Latar belakang.
Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia; baik
berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun muamalah berupa tindak pidana
maupun perdata, masalah akad atau pengelolaan, dalam syariat islam semuanya
masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh
Al-Qur’an dan Al Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi syariat islam telah
menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh
keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu
dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.
Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang
berhubungan dengan tindakan manusia yang diambil dari nash-nash yang ada atau
dari pembentukan hukum berdasarkan dalil syarat yang tidak ada nashnya,
terbentukalah “Ilmu Fiqih”.
Ilmu Fiqih menurut syara’
adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang sebangsa perbuatan yang diambil
dari dalil-dalilnya secara detail.
Berdasarkan penelitian, para ulama telah
menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syariat yang sebangsa
perbuatan itu ada empat yaitu :
1.
Al-Qur’an,
2.
Al-Sunnah,
3.
Al-Ijma, dan
4.
Al-Qiyas.
Dan bahwa sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum
syariat adalah al-Qur’an kemudian al-Sunnah sebagai penjelas atas keglobalan
al-Qur’an, pembatasan keumumannya, pengikat kebebasannya dan sebagai penerangan
serta penyempurna. Dari keseluruhan
kaidah dan hasil penelitian tentang hukum islam, maka terlahirlah Ushul Fiqih.
Ushul fiqih adalah kumpulan kaidah dan pembahasannya yang digunakan
untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia
dari dalil-dalilnya yang terperinci. Untuk lebih jelasnya saya akan membahas
tentang Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, dan perbedaannya pada bab selanjutnya.
BAB II : Pembahasan.
1.
Ilmu Fiqih.
A.
Pengertian Ilmu Fiqih.
Fiqih menurut bahasa
bermakna : tahu dan paham,
sedangkan menurut istilah, banyak ahli fiqih (fuqoha’) mendefinisikan
berbeda-beda tetapi mempuyai tujuan yang sama diantaranya :
➡ Ulma’ Hanafi mendifinisikan fiqih adalah :
“Ilmu yang menerangkan segala hak dan
kewajiban yang berhubungan amalan para mukalaf”.
➡ Sedangkan menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih (ilmu
fiqih) itu ialah:
“Ilmu yang
menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf,
yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari dalil-dalil yang jelas (tafshili)”.
➡ Sedangkan Jalalul Mahali mendifinisikan fiqih sebagai :
“Ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan
memperolehnya dari dalil yang jelas (tafshili)”.
➡ Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf pengertian fiqih adalah :
“Pengetahuan tentang
hukum-hukum syariat Islam memngenahi perbuatan manusia, yang diambil dari
dalil-dalilnya secara rinci”.
Jadi
dapat disimpulkan dari difinisi-definisi di atas, Fiqih adalah : Ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan,
yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat
Islam.
Dilihat dari segi
ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah
ilmu pengetahuan yang membiacarakan/ membahas/ memuat hukum-hukum Islam yang
bersumber pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan
oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Dengan demikian berarti bahwa fiqih itu merupakan
formulasi dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan
diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu berbentuk amaliyah yang akan diamalkan oleh
setiap mukallaf (Mukallaf
artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran
syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk
Islam).
B.
Objek Kajian Fiqih.
Hukum
yang diatur dalam fiqih Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat,
mubah, makruh dan haram disamping itu ada pula dalam
bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala,
berdosa dan sebagainya.
Meskipun
ada perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam
membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan
Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam
pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama
mengambil dari sumber yang sama.
Karena
rumusan fiqih itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber
pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya
bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam
madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh
para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran
madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik (bab-bab) kajian fiqih.
Menurut
yang umum dikenal di kalangan ulama fiqih secara awam, objek pembahasan fiqih
itu adalah empat, yang sering disebut Rubu diantaranya :
1)
Rubu’ibadat;
2)
Rubu‘muamala;
3)
Rubu’munakaha, dan
4)
Rubu’jinayat.
Ada
lagi yang berpendapat tiga saja, yaitu : bab ibadah, bab mu’amalat,
bab ’uqubat.
Menurut
Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat
dikembangkan menjadi 8 (delapan) objek kajian :
a)
Ibadah.
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan berikut ini:
1)
Tharah (bersuci);
2)
Ibadah (sembahyang);
3)
Shiyam (puasa);
4)
Zakat;
5)
Haji, dan lain-lain.
b)
Ahwalusy Syakhshiyyah.
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan,
yang meliputi persoalan :
1)
Nikah;
2)
Khitbah;
3)
Mu’asyarah;
4)
Talak;
5)
Fasakh, dan lain-lain.
c)
Muamalah Madaniyah.
Biasanya
disebut muamalah saja, dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah
yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik,
harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah :
1)
Buyu’ (jual-beli);
2)
Khiyar;
3)
Riba’;
4)
Sewa- menyewa;
5)
Pinjam meminjam;
6)
Waqaf, dan lain-lain.
*
Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok
ibadah, tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok
muamalah.
d)
Muamalah Maliyah.
Kadang-kadang
disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas
masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta
kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara
(perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi :
1)
Status milik bersama baitul mal;
2)
Sumber baitul mal;
3)
Cara pengelolaan baitul mal, dan lain-lain.
e)
Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukum).
Biasanya
dalam kitab-kitab fiqih ada yang menyebut jinayah saja, dalam bab ini
dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam
kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan
sebagainya. Pembahasan ini meliputi :
1)
Pelanggaran;
2)
Qishash;
3)
Diyat;
4)
Hukum pelanggaran, kejahatan, dan lain-lain.
f)
Murafa’ah atau Mukhashamah
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini
meliputi :
1)
Peradilan dan pendidikan;
2)
Hakim dan Qadi;
3)
Gugatan;
4)
Pembuktian dakwah;
5)
Saksi, dan lain-lain.
g)
Ahkamud Dusturiyyah.
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi :
1)
Kepala Negara dan waliyul amri;
2)
Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3)
Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4)
Hak dan kewajiban rakyat;
5)
Musyawarah dan demokrasi;
6)
Batas-batas toleransi dan persamaan, dan lain-lain.
h)
Ahkamud Dualiyah (hukum internasional).
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini
meliputi :
1)
Hubungan antar negara, sesama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika
damai atau dalam situasi perang;
2)
Ketentuan untuk orang dan damai;
3)
Penyerbuan;
4)
Masalah tawanan;
5)
Upeti, Pajak, rampasan;
6)
Perjanjian dan pernyataan bersama;
7)
Perlindungan;
8)
Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9)
Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah
memperhatikan begitu luasnya objek kajian fiqih. dapatlah kita bayangkan seluas
apa pula ruang lingkup pengajaran agama.
C.
Tujuan fiqih.
Tujuan Ilmu Fiqih adalah menerapkan hukun syara’ pada semua
perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga ilmu fiqih menjadi rujukan bagi seorang
hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukhallaf
untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan
dari semua undang-undang yang ada pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan
kecuali menerapkan materi dan hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia.
juga mengenalkan kepada mikallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram
baginya. Dengan ilmu fiqih,
kita dapat mengetahui bagaimana kita menyelenggarakan nikah, talak, bagaimana
memelihara jiwa, harta dan kehormatan, tegasnya menetahui hukum-hukum yang
harus berlaku dalam masyarakat umum.
2.
Ushul Fiqih.
A.
Pengertai Ushul Fiqih.
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat
dari dua aspek : Ushul Fiqih
kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul
Fiqih berasal dari dua kata, yakni kata Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl dan kata Fiqih, yang masing-masing
memiliki pengertain luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai
“fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai
beberapa arti berikut ini :
1)
Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih
bahwa ashl dari wajib shalat lima waktu
adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasull.
2)
Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperta sabda Nabi Muhammad SAW
yang artinya: “islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
3)
Rajah, yakni terkuat, seperti dalam ungkapan ushul fiqih: “yang terkuat
dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakekatnya”.
Maksudnya, yakni menjadi patokan dari setiap
perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4)
Mustashhab, yakni memperlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama
tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya seseorang yang hilang, apakah ia
tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?. Orang
tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya.
Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga
ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5)
Far’u
(cabang), seperti perkataan ulama ushul ”anak adalah
cabang dari ayah”. (Al-Ghazali, 1:5).
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang bisa
digunakam adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih. Adapun secara etimologi, fiqih berarti : “mengerti atau paham”. Yang dimaksud
mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara mendalam,
mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘fiqih’
dalam Al-Qur’an
di antaranya surat Hud : 91, “Mereka (penduduk Madyan) berkata : hai
Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan.” Dan
surat An Nisa’ : 78, “Maka mengapa
orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”.
Sebagai sebutan dari sebuah ilmu, ushul fiqh
adalah : sebuah ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk
mencetuskan hukum fiqh sesuai cakupan kaidah dan dalil itu. Kaidah
adalah : diskursus umum yang mencakup hukum partikular (juz’i), dengan kaidah
inilah hukum juz’I dapat diketahui .
Kaidah “Al-Amru yufid al-wujub illa idza sharafathu qarinatuh ‘an dzalik” (Amar
(perintah) menunjukkan wajib, kecuali jika ada indikasi yang dapat
memalingkannya dari wajib). Kaidah ini mencakup semua nash partikular. Seperti
firman Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah
janji-janjimu…” (Al Maidah : 1). Dan
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatlah pada Rasul…” (An Nur : 59)
semua kata yang menunjukkan amar (perintah)
masuk dalam kategori kaidah di atas.
Dengan kata amar itulah hukum wajib dalam
ayat-ayat itu dapat diketahui. Seperti wajibnya menepati janji, wajibnya
shalat, menunaikan zakat dan taat pada Rasull.
Contoh kaidah : “Nahi (larangan) menunjukkan haram, kecuali jika ada indikasi
yang dapat memalingkannya dari haram”. Kaidah ini mencakup semua nash yang
nenujukkan kata nahi (larangan), dengan kata nahi itulah hukum haram dalam
nash-nash itu dapat diketahui. Seperti firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu mendekati zina…” (Al Isra’: 32) dan firman
Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara batil.” (An-Nisa’ :
29), dengan kaidah itu, maka diketahui bahwa hukum melakukan zina adalah haram,
begitu pula makan harta dengan cara batil.
Dengan contoh kaidah di atas, seorang mujtahid
dapat mencetuskan hukum fiqih, yakni mencetuskan hukum syariah perbuatan
(amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Jika misalnya seorang
mujtahid ingin mengetahui hukumnya shalat, maka ia membaca firman Allah
SWT, “Aqiimu ash-shalah” (dirikanlah shalat). Karena kata (Aqiimu) adalah
bentuk amar (perintah), maka kaidah “amar menunjukkan wajib, kecuali ada
indikasi lain” diterapkan, dari penerapan itu kemudian diketahui bahwa hukum
melaksanakan shalat adalah wajib.
Yang dimaksud dengan dalil ijmal (umum) adalah
sumber-sumber hukum syariah, seperti Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus
ulama), dan Qiyas (analogi). Mengetahui dalil ijmal berarti mengetahui
argumentasi dan kedudukannya dalam proses pengambilan dalil, mengetahui apa
yang ditunjukkan oleh nash, makna dan syarat ijma’, macam-macam Qiyas dan
‘illat-nya (indikasi), metode menemukan ‘illat dan sebagainya.
Ulama ushul membahas dalil ijmal yang
menunjukkan (memiliki dalalah) hukum syariah. Ulama
fiqh membahas dalil juz’i untuk mencetuskan hukum juz’i dengan bantuan kaidah
ushul dan mengaitkannya dengan dalil ijmal. Ushul
fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi
suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh
terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat
tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi
masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian
sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan defenisi ushul fiqh, terlebih
dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf)
dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).
Para ahli hukum islam, dalam memberikan
definisi ushul fiqih beraneka ragam, ada yang menekankan pada fungsi ushul
fiqih itu sendiri. Dan ada pula yang menekankan pada hakekatnya, namun pada
prinsipnya sama yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara
global dengan semua seluk beluknya, diantaranya;
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama
syafi’iyah (juz 1:16) bahwa yang dimaksud ushul fiqih adalah “ ilmu pengetahuan
tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut dan keadaan
(persyaratan) orang yang menggunakannya”.
·
Ibnu Al-subki (juz 1:25) mendefinisikan ushul
fiqih sebagai “himpunan dalil fiqih
secara global”.
·
Jumhur ulama ushul fiqih mendefinisikan ushul
fiqih adalah “himpunan kaidah
(norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya”.
Pendapat ini dikemukakan oleh syaikh Muhammad Al-khuhary beik, seorang guru
besar universitas Al-azhar kairo.
·
Kamaludin ibnu humam dari kalangan ulama
hanafiyah mendefinisikan ushul fikih sebagai pengetahuan tentang kaidah-kaidah
yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih”.
·
Abdul wahab khalaf, seorang guru besar hukum di
universitas kairo mesir menyatakan bahwa ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan
tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah
dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari
dalil-dalil yang terperinci.
·
Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir
memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang
kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqih”.
Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang
cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh
mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi)
menunjukkan hukum haram.
Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli
Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai
ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum
syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini
digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk
menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah
Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum
Fiqih" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula
peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat
ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
B.
Objek Kajian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqih.
Yang menjadi objek utama dalam pembahasan Ushul
Fiqih ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber
hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya
dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan
dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Objek kajian dan ruang lingkup yang dibicarakan
dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqih ini meliputi :
a)
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum
taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab,
syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b)
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal
hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak,
dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan,
apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c)
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum
(mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat
taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d)
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi
berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia,
keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
d)
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi
berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia,
keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e)
Masalah istinbath dan istidlal
meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang
beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan
sebagainya.
f)
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba'
dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya,
fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan
sebagainya.
g)
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi
pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab,
mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz
zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h)
Masa'ah rakyu dan qiyas;
meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru
wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan
selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai
bentuk dan penyelesaiannya.
C. Tujuan dan Kegunaan Ushul
Fiqih
Tujuan ushul fiqih adalah menerapakan kaidah
dan pembahasannya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya.
Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat difahami nash-nash syara’ dan
dengan hukum-hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas
kesamaran nash-nash tersebut dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi
pertentangan antara sebagian nash dengan yang lain.
Sesuatutu yang tidak boleh dilupakan dalam
mempelajari Ushul Fiqih ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan
proses pembahasan. Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqih sangat
diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata
bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu
tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu
tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqih tidak
akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan
dari kaidahnya.
Ushul Fiqih itu ialah suatu ilmu yang sangat
berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan
mempelajari Ushul Fiqih orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqih itu
diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi
itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan sekarang, atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan.
Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap
kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat
universal itu.
Adapun kegunaan Usul Fiqh adalah :
➡ Ilmu
Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat
manusia.
➡ Statis
dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
➡ Orang
dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia
pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia
sepanjang zaman.
➡ Sekurang-kurangnya,
orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh
seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka
gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa
atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka
lakukan untuk menetapkannya, prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan
hukumnya.
Dengan demikian orang akan terhindar dari
taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi'
yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang
dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu
Ushul Fiqih merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan
pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi
dan kemajuan dalam segala bidang.
3.
Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
Jelaslah
perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih, bahwa ushul fiqih merupakan metode
(cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih (faqih) di dalam menetapkan
hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali
tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan
dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an
dan Hadits. Sedangkan fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan
methode-methode tersebut.
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses
pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul
Fiqih" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul
Fiqih" yang berarti asal-usul Fiqih. Maksudnya, pengetahuan
Fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul
Fiqih.
Pengetahuan Fiqih adalah formulasi dari nash
syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun
dalam pengetahuan Ushul Fiqih. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah
berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun
materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid)
gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan
cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi
pengetahuan Ushul Fiqih.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul
Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai
ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum
syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini
digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk
menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah
Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum
Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula
peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat
ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
BAB III : Penutupan
A.
Simpulan
Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan
jelas bahwa ushul fikih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum
dan objaknya selalu dalil dan hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan
mukhalaf yang diberi status hukumnya walaupun ada titik kesamaan yaitu keduanya
merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang
dalil dari sisi cara petunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih
memandang dalil hanya sebagai rujukannya.
B.
Saran
Alhamdulillah
akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, segala koreksi dan saran
demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi
yang ingin menambahkhazanah, kekeliruan dan sebagai bahan untuk memperbaiki apa
yang telah disusunnya. Sehingga mudah-mudahan untuk waktu kedepannya, penyusun
bisa lebih baik.
BAB IV : Daftar
Pustaka
Ø Prof. Dr. Rachmat Syafe’I,MA. 1998.
Ilmu Ushul fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Ø Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. 1974. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta
: Pustaka Amanah.
Ø Prof. Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul fiqih. Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Sumber
: http://larasgemilangputri.blogspot.com/2013/
※
Ya Allah... semoga yang membaca artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Muliakanlah orangnya
¤
Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤
Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin
ya Rabbal'alamin.¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
☆ Salam buat isteri :
‘Siti Nurjanah’