Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang apakah wanita haid boleh menyentuh dan atau membaca Al Quran ataukah
tidak. Untuk membahas masalah ini, tentu tidak adil jika satu pendapat saja
yang saya sampaikan. Oleh karena itu, saya akan menyampaikan semua pendapat,
dan anda berhak memilih di antara pendapat2 tersebut, mana yang lebih mendekati
kebenaran dan sesuai dengan dalil yang ada. Serta anda berhak pula memilih mana
yg akan anda jadikan pegangan dalam masalah ini.
Perbedaan pendapat tentang wanita haid
menyentuh dan membaca Al Quran dikarenakan perbedaan penafsiran Al Quran dan
hadits yang ada. jadi, jangan jadikan perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada
untuk saling bermusuhan dan saling membenci di kalangan umat muslim satu dengan
yang lainnya. Saya paparkan perihal tersebut, agar kita sama2 bisa saling
memaklumi sebuah pendapat yang mungkin berbeda dengan pendapat yg kita pegang
selama ini. Bisa saling menghormati satu dengan yg lainnya..
I. Pendapat Yang Mengatakan Tidak Boleh Menyentuh dan
Membaca Al Quran
Berdasarkan ayat Al Quran :
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [QS. Al-Waqi’ah - ayat : 79]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama melarang
bagi wanita haid untuk membaca Al Quran. Sekedar menyentuhnya saja tidak boleh,
apalagi membacanya. Selain itu pendapat ini didukung beberapa hadits di bawah :
“Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci.” [Hadis daripada ‘Amr bin Hazm radhiallahu ‘anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al-Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan. Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi.]
Hadits di atas dinyatakan shahih lighairihi.
Mengapa..?! hadits tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, jika
hadits tersebut berdiri sendiri-sendiri bisa disebut hadits dhaif, tetapi jika
berdiri bersama-sama dengan menghubungkan jalur2 sanad yang ada, maka hadits
tersebut bisa disebut hadits shahih, sehingga shahihnya dinamakan shahih
lighairihi dan sebuah hadits shahih bisa dijadikan acuan/dasar untuk sebuah
pendapat dalam fiqih.
Ada juga hadits lainnya, yakni Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan tidak pula perempuan-perempuan haid.” [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam sunanya no.121).
“Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan tidak pula perempuan-perempuan haid.” [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam sunanya no.121).
Berdasarkan dalil2 tersebut di atas, maka
diambillah sebuah pendapat yang melarang wanita haid membaca Al Quran.
II. Pendapat Yang Membolehkan Wanita Haid Menyentuh dan
Membaca Al Quran.
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [QS. Al-Waqi’ah – ayat : 79]
Untuk memahami makna sebuah ayat Al Quran,
tentu kita harus belajar, bagaimana para pakar tafsir Al Quran menafsirkan ayat
tersebut. Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya menerangkan penjelasan/ tafsir
dari Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an
yang ada di Lauhul Mahfudz
sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya. Mari kita simak ayat2
sebelumnya dan bagaimana penafsiran para shahabat terhadap ayat tersebut :
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat “fii Kitabim-maknun” (QS 56 : 77)
berarti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz. Demikian pula pendapat Anas,
Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’, Jabir bin Zaid,
Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka
sebagaimana diterangkan dalam kitab Ibnu Katsir.
Dalam kitab tafsir Tafsir Ath Thobari XI/659
bahwa Ibnu Zaid Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para
utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan, para nabi disucikan
dan para rasul yang membawanya juga disucikan.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”
Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan
tabi’in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii
al-Bayan [Dar al-Fikr, Beirut 1999, riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga
al-Mawardi – Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5,
ms. 463-464.]
Jika kita kaji dari jenis bentukan isimnya
dalam ayat tersebut pun, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa lafadz yang
digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang
yang disucikan), bukan dalam bentukisim fa’il (orang-orang yang bersuci).
Perhatikan kalimatnya : “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka
yang telah disucikan,” yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il
(subyek).”
Ulama yang membolehkan wanita haid membaca Al
Quran juga menggunakan dasar Hadits dari :
‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
Berdasarkan dalil tersebut di atas, yang
tidak diperbolehkan hanya thawaf saja, sedangakn amal orang yang beribadah haji
lainnhya tetap diperbolehkan termasuk berdzikir, membaca AL Quran dan
lain-lain.
Thawaf tidak boleh, karena thawaf menurut
hadits dari Ibnu Abbas itu seperti shalat..
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Hadits di atas memang digolongkan sebagai
hadits mauquf, yaitu hanya sampai pada sahabat dan tidak sampai pada Rasulullah
tetapi, hadits mauquf adalah ucapan para shahabat yg telah belajar langsung
kepada Rasulullah, tidak mungkin beliau berkata bohong atau mengarang cerita
sendiri, maka bisa dijadikan dasar sebuah pendapat dalam agama, karena bisa
digolongkan termasuk atsar para shahabat.
Menilik hal tersebut, maka thawaf tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita haidh seperti larangan untuk shalat. Selain itu, berdzikir, membaca Al Quran dan sebagainya yang biasa dilakukan orang yg beribadah haji, tidak dilarang.
Sekarang, mari perhatikan hadits tentang
tidak boleh membaca Al Quran kecuali orang yg suci. Hadits tersebut berbunyi :
Hadits Ibn Umar : “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid”, maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Hadits Ibn Umar : “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid”, maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Ia adalah hadis yang dha’if, didha’ifkan oleh
al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).]
Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).]
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Ada juga hadits yg membahas hal tersebut :
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain).
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain).
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki
sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi . Menurut
ulama yang berpendapat boleh menyentuh Al Quran dalam kondisi junub dan haid,
kata thohir di dalam hadits tersebut adalah bersih dari najis, sedangkan orang
beriman itu tidak najis.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia
berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah
satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku
menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau),
lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku
tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan
tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda :
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul
Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan
Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba
yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis
berdasarkan hadits di atas. Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang
disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa
barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti : Orang yang
tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala
yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah : ayat 28)
yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah : ayat 28)
Jadi, yang najis adalah orang2 musyrik,
sedangkan orang2 beriman tidak najis (suci).
III. Pendapat Yang Tidak Boleh Menyentuh Al Quran Tetapi
Membolehkan Membacanya.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama (jumhur),
karena tidak ada dalil shahih yang melarang untuk membaca Al Quran kecuali
larangan menyentuhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyentuh Al Quran adalah
menyentuh mushaf Al Quran.
Hadits Ibn Umar : “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid”, maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Hadits Ibn Umar : “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid”, maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Ia adalah hadis yang dha’if, didha’ifkan oleh
al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya. Baca penjelasan di atas. Sedangkan yang
shahih adalah dalil tidak boleh menyentuh Al Quran sesuai dalil :
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [QS. Al-Waqi’ah : ayat 79]
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [QS. Al-Waqi’ah : ayat 79]
Dan dalil :
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Silahkan baca penjelasan sebelumnya di atas.
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Silahkan baca penjelasan sebelumnya di atas.
Dalil shahih yang ada hanya sekedar tidak
boleh menyentuh mushaf, akan tetapi membaca Al Quran masih diperbolehkan karena
tidak ada dalil shahih yang melarangnya.
Catatan :
Semoga perbedaan pendapat yang saya tulis di atas bisa menjadikan kita lebih bisa saling menghormati dan memahami antara satu muslim dengan muslim lainnya. Keep “ukhuwah”, kick “permusuhan”.
Semoga perbedaan pendapat yang saya tulis di atas bisa menjadikan kita lebih bisa saling menghormati dan memahami antara satu muslim dengan muslim lainnya. Keep “ukhuwah”, kick “permusuhan”.
https://almubayyin.wordpress.com/
※
Ya Allah... semoga yang membaca artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Muliakanlah orangnya
¤
Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤
Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin
ya Rabbal'alamin.¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.