Hukum
pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama
selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya
negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda.
Indonesia
merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja
sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim
menikahi seorang yang non muslim? Jika boleh bagaimana Islam menyikapi hal
tersebut? Memang urusan cinta itu tidak akan ada habisnya, semakin dibicarakan
ia akan semakin sulit dicerna, seperti itulah kira-kira, karena cinta sulit
didefinisikan, dan memang sepertinya cinta akan lebih indah justru ketika ia
tanpa definisi.
Urusan
cinta memang kadang ajaib, kadang-kadang ia hadir tanpa sebab, dan hadir tanpa
tau alamat sebelumnya. Hingga tidak sedikit cinta mampir ke hati dia yang
berbeda keyakinan dengan kita. Ada kalanya laki-laki muslim mencintai perempuan
yang berbeda agama dengannya, dan sebaliknya kadang muslimah malah jatuh cinta
dengan laki-laki non muslim.
Berikut
ini adalah beberapa ayat yang sering dijadikan pijakan dalam membahas hukum
nikah beda agama:
Allah
berfirman :
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran” (QS. Al-Baqarah :
221)
“Pada hari ini
Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk
orang-orang merugi”. (QS. Al-Maidah : 5)
“Mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka”
(QS.
Al-Mumtahanah : 10)
Sebab Nuzul :
Surat
Al-Baqarah ayat 221 ini adalah ayat pertama yang sering menjadi awal
pembahasan, dimana dalam ayat ini ada pesan larangan untuk menikah dengan yang
bukan seagama, walaupun masih belum jelas apakah pelarangan itu bersifat mutlak
haram, atau ada penjelasan lainnya.
Untuk
lebih memahami konteks dimana ayat ini turun, kiranya perlu bagi kita untuk
sedikit melihat beberapa riwayat yang ada dalam menjelaskan latar belakang ayat
ini turun, sehingga dengan pengetahuan ini diharapakan agar kita mempunyai
gambaran awal dari pembahasan pada tema nikah beda agama ini.
Setidaknya
ada dua riwayat masyhur yang sering dikutip oleh ulama tafsir dalam banyak
kitabnya:
a. Riwayat Pertama.
Ibnu
Abbas ra. Meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat nabi bernama Abdullah bin
Rawahah mempunyai budak perempuan hitam, lalu kemudian karena kejadian tertentu
akhirnya Abdullah bin Rawahah marah besar dengan budaknya, lalu beliau
menamparnya. Kejadian ini akhirnya diceritakan kepada Rasulullah SAW, lalu
kemudian Rasulullah SAW bertanya : “Bagaimana keadaan budakmu itu, wahai
Abdullah?” Lalu dijawab : “Dia berpuasa, shalat, berwudhu’, dan dia juga
bersyahat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah. Maka
seketika Rasul mengatakan bahwa dia adalah muslimah.
Kemudian
Abdullah bin Rawahah bersumpah untuk memerdekannya dan menikahinya, dan begitu
beliau memerdekakannya dengan berani beliau juga menikahinya. Masyarakat
setempat pada waktu itu ramai memberitakan pernikahan Abdullah bin Rawahah
dengan mantan budak perempuannya, seakan itu adalah pernikahan yang hina,
sehingga mereka menyayangkan hal itu terjadi.
Ramainya
pemberitaan negatif ini disebabkan karena pada waktu yang bersamaan ada
fenomena yang lagi nge-trend dimasyarakat Arab dimana mereka senang menikahi
perempuan musyrik karena biasanya perempuan-permpuan itu mempunyai jabatan
bagus dimasyarakatnya, atau dengan kata lain mereka adalah perempuan yang
berpangkat.
Dengan
kejadian seperti ini, maka turunlah QS. Al-baqarah : 221, sebagai jawaban bahwa
apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah bukan sebuah hal yang buruk.
b. Riwayat Kedua.
Apa
yang dikeluarkan oleh Abu Hatim, Ibnu Al-Mundzir dari Muqatil bin Hayyan
berkata: Ayat ini turun terkait dengan cerita Martsad Al-Ghanawi yang meminta
idzin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi seorang perempuan musyrik yang
mempunyai starata sosial yang bagus pada kabilahnya bernama ‘Anaq. Martsad
berkata : “Ya Rasulullah, sungguh aku tertarik (untuk menikahi) perempuan ‘Anaq
itu”. Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat
Martsad Al-Ghanawi.
Hukum Fiqih :
Dalam
hal ini setidaknya ada dua permasalahan besar terkait dengan nikah beda agama.
Pertama terkait hukum laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik, dan yang
kedua terkait dengan perempuan muslimah menikah dengan laki-laki musyrik.
Pertama
: Muslim Menikah Dengan Bukan Muslimah.
Di
Indonesia perkara ini agak jarang terjadi, namun perlu juga kiranya kita
mencari tahu bagaimana detail pendapat ulama dalam masalah ini. Cinta memang
buta, namun cinta tetap tidak bisa membutakan hukum. Dalam hal ini setidaknya
ada dua pendapat besar:
1. Mayoritas Ulama.
Mayoritas
ulama menyepakati, termasuk didalam ulama empat madzhab, bahwa haram menikahi
perempuan bukan muslimah selain ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Keharaman
menikahi perempuan bukan muslimah selain ahli kitab itu berdasarkan QS.
Al-Baqarah : 221 dia atas, dan kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu
didasarkan kepada QS. Al-Maidah ayat ke-5.
Dalam
bahasa lainnya bahwa menurut mayoritas ulama boleh menikahi perempuan ahli
kitab, walaupun status kebolehannya juga berkisar antara mubah dan makruh. Namun
yang juga perlu digaris bawahi bahwa kebolehan menikahi mereka mensyaratkan
bahwa perempuan ahli kitab itu adalah sosok yang suci dari perzinahan, masuk
dalam katagori muhshanat dan statusnya bukan penduduk harbiy yang boleh dibunuh
dan dalam madzhab Syafi’i ahli kitab yang dimaksud nasabnya harus sampai kepada
Bani Isra’il, walaupun syarat yang ketiga masih diperselisihkan antara ulama.
Jumhur
ulama menilai bahwa lafazh al-Musyrikat pada QS. Al-Baqarah: 221 tidak
mengandung makna ahli kitab, didasarkan pada ayat berikut:
“Orang-orang kafir
dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya
sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang
dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai
karunia yang besar” (QS. Al-Baqarah: 105)
“Orang-orang kafir
Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. Al-Bayyinah: 1)
Pada
kedua ayat diatas kata Ahl al-Kitab dan al-Musyrik digabungkan atau di
‘athafkan dengan khuruf waw, dalam kaidahnya kata yang berada sebelum huruf waw
dan kata yang datang sesudahnya memberi isyarat bahwa keduanya adalah dua hal
yang berbeda, bukan satu jenis. Hal ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan
oleh Ibu Abbas ra, dan ini juga pendapat Malik bin Anas dan Sufyan As-Tsauri
dan Abdurrahman Al-Auza’i bahwa keharaman menikahi non muslimah pada QS.
Al-Baqarah : 221 itu dihapus keberlakuannya (di-nasyakh) oleh QS. Al-Maidah : 5
yang membolehkan menikahi ahli kitab.
Pendapat
yang hampir sama juga dinyatakan oleh Qatadah dan Sa’id bin Jubair yang menilai
bahwa QS. Al-Baqarah : 221 sifatnya umum (‘am) yang maksudnya dan tujuannya
dikhususkan (takhsish) maknanya oleh QS. Al-Maidah: 5. Dalam istilah Ushul
Fiqih pendalilan seperti ini di kenal dengan istilah ‘am urida bihi al-khusush.
Dan menurut penjelasan At-Thabari pendapat Qatadah ini adalah pendapat yang
paling kuat, bahwa QS. Al-Baqarah : 221 ini adalah ayat yang tampaknya ‘am
(umum) tapi sebenarnya ia adalah ayat khas (khusus), dan tidak ada yang
dihapus, serta ahli kitab tidak masuk dalam pelarangan yang dimaksud.
Kebolehan
menikahi ahli kitab juga dikuatkan dengan kenyatan ternyata sahabat Rasulullah
SAW yang bernama Khudzaifah bin Al-Yaman dan Tholhah bin Ubaidillah juga
menikahi perempuan ahli kitab, lebih tepatnya dalam riwayat lainnya salah
seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir bahwa Hudzaifah menikah dengan perempuan
Nashrani dan Tholhah menikahi perempuan Yahudi.
Melihat
kenyataan ini lalu Umar bin Khattab memerintahkan agar sahabat Hudzaifah dan
Tholhah ini menceraikan istrinya yang Nashrani dan Yahudi itu. Memang Umar bin
Khattab termasuk sahabat yang paling gentol mengkampanyekan agar tidak menikahi
perempuan ahli kitab.
Kampanye
ini bukan berarti sosok Umar mengharamkannya, namun hal ini dilakukan hanya
semata untuk kehati-hatian agar laki-laki muslim tidak gampang memutuskan untuk
menikahi mereka, terlebih bahwa keberadaan muslimah masih sangat memadai
jumlahnya untuk dinikahi.
Jangan
sampai gara-gara Hudzaifah menikahi gadis ahli kitab, lalu kemudian yang lain
juga mengikutinya dengan dengan cara mencari pembenaran dari apa yang di
lakukan oleh Hudzaifah, sahabat Rasulullah SAW, penjelasan ini seperti yang
ditulis As-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan-nya.
Dari
cerita Umar bin Khattab ini kita bisa menilai bahwa sah hukumnya menikahi
perempuan ahli kitab, dengan dalil bahwa perintah tholak (cerai) yang diminta
oleh Umar tersebut tidak mungkin terjadi kecuai jika sebelumnya sudah ada
hubungan pernikahan yang sah.
Jika
saja menikahinya haram, maka sudah barang tentu Umar tidak akan memerintahkan
mereka berdua untuk menceraikannya, melainkan langsung pisah secara otomatis,
dan bahwa pernikahan itu tidak diakui. Jika nikah belum sah tidak mungkin ada
perceraian.
Namun
At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan-nya meyakini bahwa cerita tentang Umar diatas
tidak bisa dibenarkan dengan begitu saja, bagaimana mungkin sosok Umar sangat
berani bersikap seakan berseberangan dengan kehalalan yang Al-Quran sampaikan,
karena riwayat cerita tersebut bermasalah dari sisi jalur periwayatan, justru menurut
At-Thabari jalur periwayatan yang lebih kuat mengabarkan kepada kita akan
perkataan Umar berikut:
“Seorang
muslim (boleh) menikahi perempuan Nashrani, dan seorang Nasrani tidak boleh
menikahi perempuan muslimah”
Al-Qurthubi
dalm tafsirnya menambahkan bahwa pendapat mayoritas ulama ini semakin kuat
dengan didukung oleh pendapat banyak sahabat lainnya, seperti Utsman, Thalhah
bin Ubaidillah, Ibnu Abbas, Jabir, Hudzifah bin Al-Yaman, juga didukung oleh
pendapat para tabi’in yang juga senada, seperti pendapat Sa’id bin Musayyib,
Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Mujahid, Thowus, Ikrimah, As-Sya’bi, dan
Ad-Dhohhak.
Namun
sekarang ini, justru kita dihadapkan dengan kenyatakan bahwa ada sekian banyak
perempuan muslimah yang belum menikah dengan jumlah bahkan sampai tiga kali
lipat atau lebih dari keberadaan laki-laki muslim, jika laki-laki muslim sudah
terkena virus merah jambu dengan perempuan Yahudi atau Nasrani, alangkah
malangnya nasib menjadi muslimah.
Mereka
lebih layak untuk dinikahi, sepertinya lelaki muslim sedini mungkin perlu
memasang pagar yang kuat agar hatinya kokoh menahan panah-panah cinta yang
mungkin ditiupkan ke hati mereka melalui banyak cara yang kadang tidak terduga.
Cepat
lupakan kesan baik mereka yang mungkin akan berlanjut ke hati. Muslimah kita
masih banyak yang lebih cantik dan dan lebih menarik serta lebih bisa
mendatangkan sakinah di rumah tangga. Jikapun seandainya menikahi mereka itu
dengan niat politik juga butuh berpikir seribu kali untuk dijalani.
2. Pendapat Ibnu Umar
Berbeda
dengan pendapat mayoritas ulama diatas, maka Ibnu Umar punya pendapatnya
sendiri yang lebih ekstrim akan keharaman menikahi perempuan bukan muslimah
secara mutlak, termasuk didalamnya haram menikahi perempuan ahli kitab.
Sepertinya
anak kesayangan Umar bin Khattab ini berpendapat bahwa QS. Al-Maidah yang
menjelaskan kebolehan menikahi perempuan ahli kitab dihapus keberakuannya
(di-nasakh) oleh QS. Al-Baqarah : 221 yang melarang menikahi perempuan musyrik
secara umum, tanpa pengecualian.
Secara
tegas jika Ibnu Umar ditanya tentang hukum laki-laki muslim menikahi perempuan
ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) beliau dengan tegas biasanya akan menjawab
dengan :
“Allah
telah mengharamkan perempuan musyrik bagi kaum muslimin, dan saya tidak tahu
jika ada dosa syirik yang lebih besar melebihi dosa perempuan yang dengan
keyakinannya mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa, atau salah satu hamba Allah
lainnya”
Namun
pendapat ini dinilai lemah, karena menurut mayoritas ulama bahwa QS. Al-Baqarah
: 221 itu turun pada awal-awal periode Madinah, sedangkan ayat QS. Al-Maidah :
5 justru turunnya belakangan, ayat tersebut pada akhir-akhir periode Madinah.
Jika
memakai kaidah nasikh dan mansukh maka sudah pasti QS. Al-Baqarah : 221
statusnya menjadi mansukh (yang dihapus), sedang ayat QS. Al-Maidah : 5
statusnya adalah sebagai nasikh (yang menghapus) keberlakuan hukum pada ayat
sebelumnya.
Kedua:
Muslimah Menikah Dengan Non Muslim
Lanjutan
dari QS. Al-Baqarah : 221 adalah perihal larangan menikahkan perempuan muslimah
dengan non muslim atau kafir. Non muslim yang dimasud adalah seluruh laki-laki
yang bukan muslim, apapun nama agamanya, ini yang membedakan antara pebahasan
pertama dengan yang kedua.
Hal
ini dikuatkan melalui ayat berikut :
“Mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka”
(QS.
Al-Mumtahanah : 10)
Sosok
besar Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir menilai bahwa potongan ayat
terakhir ini tidak ada yang mengkhususkannya, dan Al-Qurthubi meyakinkan bahwa
pelarangan ini sudah ada kata sepakat (ijma’) dari para ulama, sehingga
meragukannya bukanlah sebuah kebaikan, apalagi mendiskusikannya ulang didunia
akademis yang kadang ngalur-ngidul tidak jelas arahnya kemana.
Kalimat
“وَلَا تُنْكِحُوا” dengan harakat dhommah (di depan)
pada huruf ta’ terjemah Indonesia : “Janganlah kalian menikahkan”, maksudnya
adalah menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim. Dari ayat inilah para
ulama menilai bahwa perempuan, khususnya yang berstatus perawan, tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri, dia harus dinikahkan oleh walinya.
Pernikahan
tanpa wali diyakini tidak sah oleh mayoritas ulama, termasuk didalamnya ulama
empat madzhab minus madzhab Abi Hanifah, hal ini lebih dikuatkan dengan
keterangan hadits Rasulullah SAW :
“Perempuan mana saja
yang menikah tanpa restu walinya maka nikahnya batil, maka nikahnya batil, maka
nikahnya batil”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
“Tidak ada pernikahan
kecuali dengan wali” (HR. Ahmad)
“Janganlah seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri, karena sungguh (hanya) pezinah saja yang
menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ad-Daru Quthni)
Dari
beberapa kasus yang terjadi di negri kita ini sepertinya para orang tua
perempuan atau wali dari perempuan muslimah kita sedikit kecolongan, sehingga
sebagian pernikahan beda agama itu justru sudah terjadi tanpa sepengetahuan
orang tua sebelumnya. Dan lebih parahnya terkadang justru dari keluarga
muslimah itu sendiri yang terkesan berbangga hati ketika anaknya menikah dengan
laki-laki gagah non muslim. Na’udzubillah.
Keharaman
menikahkan muslimah dengan non muslim itu setidaknya didasari dengan landasan
bahwa Islam itu tiggi dan tidak ada yang boleh lebih tingi darinya, sedang kita
tahu bahwa pada level keluarga posisi tertinggi dipegang oleh suami yang nanti
akan menjadi ayah dari anak-anak.
Sehingga
sangat dikhawatirkan akan hadirnya banyak mudharat dalam keluarga tersebut,
kebahagiaan yang diraih dari model pernikahan ini adalah kebahagiaan yang semu,
bagaimana mau bahagia jika agama tidak meridhoi, belum lagi jika keluarga besar
juga tidak merestui, kebahagiaan macam apa yang akan diraih dengan
ketidakridhoan dari agama dan keluarga?
Sakinah
yang didamba dan dijanjikan akan diraih oleh mereka yang menikah tidak akan
hadir jika lewat pernikahan seperti ini, setidaknya ini yang kita saksikan dari
banyak tanyangan di media dan jejaring sosial, belum dari beberapa kenyataan
yang ada disekiling penulis yang penulis lihat sendiri dengan mata dan kepala.
Ada
sebagian kelompok yang menilai bahwa hukum seperti ini tidak adil, mengapa
laki-laki muslim muslim boleh menikahi Yahudi dan Nasrani, sedang perempuan
muslimah tidak boleh dinikahi oleh mereka? Agaknya ada kesan egaois yang yang
ditampilkan.
Untuk
menjawab pertanyaan siapa yang egois dan tidaknya bolehlah kita pinjam jawaban
yang pernah disampaikan oleh As-Shobuni berikut:
“Kami
ummat Islam beriman dengan Isa dan kitab Injil, jika kalian mau beriman dengan
nabi kami (Muhammad SAW) dan kitab kami (Al-Quran) maka kami akan menikahkan
anak-anak kami dengan kalian” Untuk mengakhiri pembahasan ini mari kita
sempurnakan bacaan ayat kita dengan ayat penutup yang Allah sampaikan sebagai
salah penguat akan adanya larangan menikah beda agama, terkhusus dalam kasus
muslimah menikah dengan non muslim.
Firman
Allah :
“Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221)
Semenarik
apapun mereka, sekaya apaun mereka, setinggi apapun kedudukan mereka, dan
sebagus apapun nasab keturunan mereka, jangan lupa masih banyak muslim dan
muslimah yang menarik, kaya, berkedudukan, dan berdarah biru, dan yang tidak
kalah pentingnya mereka insya Allah shalih dan shalihah (kecuali yang tidak)
Wallahu
a’lam bisshawab
Oleh
: Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA.
※ Ya Allah... semoga yang membaca
artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Muliakanlah orangnya
¤
Yang belum menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤
Yang belum mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin
ya Rabbal'alamin.¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.