A. PENGERTIAN
1. Menurut bahasa
Jual beli bermakna memiliki dan membeli. Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan
sesuatu”. Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah
dan at-tijarah.
2. Menurut syara’
Pengertian jual beli secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta
untuk memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a). Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda)
dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i
ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b). Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran
harta dengan harta untuk kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni
al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c). Menurut Ibnu Qudamah dalam
kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan
milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d). Tukar menukar harta meskipun ada
dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan
keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi,
203).
e). Menukar barang dengan barang
atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada
yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah)
f). Saling tukar harta, saling
menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul dengan cara yang
sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g). Penukaran benda dengan benda
lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik dengan ada
penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal. 126)
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut
mempunyai kesamaan dan mengandung hal-hal antara lain :
✔ Jual beli dilakukan oleh
2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
✔ Tukar menukar tersebut
atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan
dari kedua belah pihak.
✔ Sesuatu yang tidak berupa
barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
✔ Tukar menukar tersebut
hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memiliki sesuatu yang
diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an.
a). Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan
ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami
Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz
merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam
musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
b). Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)
Mereka berkata, “sesungguhnya
jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap
hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram. Kemudian firman Allah
Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu
Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang
mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli
dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
c). Allah Swt berfirman, “Dan
persaksikanlah, apabila kamu berjual beli”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282). Ibnu
Juraij berkata, “Barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan
persaksian”.
Qatadah rh berkata bahwa
disebutkan kepada kami bahwa Abu Sulaiman al-Mur’isyi (salah seorang yang
berguru kepada Ka’b) mengatakan kepada murid-muridnya, “Tahukah kalian tentang
seorang yang teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya tetapi doanya tidak
dikabulkan?”. Mereka menjawab, “Mengapa bisa demikian?”. Abu Sulaiman berkata, “Dia adalah seorang
lelaki yang menjual suatu barang untuk waktu tertentu tetapi ia tidak memakai
saksi dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayaran ternyata si
pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhan-nya tetapi doanya tidak
dikabulkan. Demikian itu karena dia telah berbuat durhaka kepada Tuhannya yaitu
tidak menuruti perintah-Nya yang menganjurkannya untuk mencatat atau
mempersaksikan hal itu”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Abu Sa’id, Asy-Sya’bi,
Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid serta lainnya
mengatakan bahwa pada mulanya menulis utang piutang dan jual beli itu hukumnya
wajib, kemudian di-mansukh oleh firman Allah Swt, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.
(Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
Dalil lain yang memperkuat
hal ini ialah sebuah hadits yang menceritakan tentang syariat umat sebelum kita
tetapi diakui syariat kita serta tidak diingkari yang isinya menceritakan tiada
kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.
Imam Ahmad berkata bahwa
telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada
kami Laits, dari Ja’far ibnu Rabi’ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmudz, dari Abu
Hurairah, dari Rasulullah Saw yang mengisahkan dalam sabdanya, “Dahulu ada
seorang lelaki dari kalangan Bani Israil meminta meminta kepada seseorang yang
juga dari kalangan Bani Israil agar meminjaminya uang sebesar 1000 dinar. Maka
pemilik uang berkata kepadanya, “Datangkanlah kepadaku para saksi agar
transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka”. Ia menjawab, “Cukuplah Allah
sebagai saksi”. Pemilik uang berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang yang
menjaminmu”. Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjamin”. Pemilik uang
berkata, “Engkau benar”. Lalu pemilik uang itu memberikan utang itu kepadanya
untuk waktu yang ditentukan. Lalu ia berangkat melalui jalan laut (naik
perahu).
Setelah keperluannya
selesai, lalu ia mencari perahu yang akan mengantarkannya ke tempat pemilik
uang karena saat pelunasan utangnya hampir tiba. Akan tetapi ia tidak menjumpai
sebuah perahu pun. Akhirnya ia mengambil sebatang kayu, lalu melubangi
tengahnya, kemudian uang 1000 dinar itu dimasukkan ke dalam kayu itu berikut
sepucuk surat buat alamat yang dituju. Lalu lubang itu ia sumbat rapat,
kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia lemparkan ke laut seraya
berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku pernah
berutang kepada si Fulan sebanyak 1000 dinar. Ketika ia meminta kepadaku
seorang penjamin, maka kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai penjaminku’, dan
ternyata ia rela dengan hal tersebut.
Ia meminta saksi kepadaku,
lalu kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’ dan ternyata ia rela dengan hal
tersebut. Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan kendaraan
(perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang telah memberiku utang tetapi
aku tidak menemukan sebuah perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini
kepada Engkau”. Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke
dalamnya. Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan perahu untuk
menjuju ke negeri pemilik piutang.
Lalu lelaki yang
memberinya utang keluar dan melihat-lihat barangkali ada perahu yang tiba
membawa uangnya. Ternyata yang ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di
dalamnya terdapat uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai
kayu bakar. Ketika ia membelah kayu itu, ternyata ia menemukan sejumlah harta
dan sepucuk surat itu. Kemudian lelaki yang berutang tiba kepadanya dan datang
kepadanya dengan membawa uang 1000 dinar sambil berkata, “Demi Allah, aku terus
berusaha keras mencari perahu untuk sampai kepadamu dengan membawa uangmu
tetapi ternyata aku tidak dapat menemukan sebuah perahu pun sebelum aku tiba
dengan perahu ini”.
Ia bertanya, “Apakah
engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”. Lelaki yang berutang balik
bertanya, “Bukankah aku telah katakatan kepadamu bahwa aku tidak menemukan
sebuah perahu pun sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?’. Ia berkata,
“Sesungguhnya Allah telah membayarkan utangmu melalui apa yang engkau kirimkan
di dalam kayu tersebut. Maka kembalilah kamu dengan 1000 dinarmu itu dengan
sadar. (HR Bukhari)
d). Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)
Ibnu Katsir rh berkata
tentang ayat di atas bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman
memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang
batil yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan
judi serta cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan
pengelabuan. Sekalipun pada lahiriyahnya seperti memakai cara-cara yang sesuai
syara’ tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah
semata-mata menjalankan riba tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat).
(Tafsir Ibnu Katsir)
“kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”,
yakni janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang
diharamkan tetapi berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka
(saling ridha) di antara penjual dan pembeli serta carilah keuntungan dengan
cara yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)
e). Allah Swt berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”. (Q.S Al Qashash 28 : 77)
Mereka harus senantiasa
ingat akan nasibnya dari dunia yang sangat sedikit dan sebentar. Bila
kenikmatan yang sedikit ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan
yang abadi tentu mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang
menjadikan ayat ini sebagai dorongan untuk meningkatkan kehidupan duniawi,
padahal tanpa menggunakan ayat al-Qur’an pun kebanyakan manusia terus berlomba
dalam mencari dan meningkatkan kehidupan dunia.
Sebaliknya, karena
kesibukan duniawi yang tidak pasti ini, banyak sekali manusia melupakan
tugasnya sebagai hamba dalam menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena
itu sangat diperlukan bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni’matan dunia,
bahwa keni’matan tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan manusia
diingatkan bahwa waktu yang tersedia untuk membekali diri demi kepntingan
akhirat sangat terbatas. Karena itu janganlah manusia lalai akan keterbatasan
waktu ini.
Ibnu Abi-Ashim mengatakan :
“Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa
nasibmu dari dunia’ bukan berarti jangan melupakan keni’matan lahir di dunia,
melainkan umurmu. Artinya gunakanlah usiamu untuk akhirat.” Dan Ibnul
Mubarak juga berpandangan yang sama, ia berkata : “Yang dimaksud dengan ‘jangan
lupa nasibmu dari dunia’ adalah beramal ibadah dalam taat kepada Allah di dunia
untuk meraih pahala di akhirat.”
Dua ungkapan diatas
bukanlah ungkapan yang baru melainkan kelanjutan dari ungkapan para
pendahulunya dari para ahli tafsir baik generasi shahabat, tabiin atau tabi’ut
tabi’in. Dalam menafsirkan ayat ini Ath-Thabari mengatakan: “Janganlah kamu
tinggalkan nasibmu dan kesempatanmu dari dunia untuk berjuang demi meraih
nasibmu dari akhirat, maka kamu terus beramal ibadah yang dapat menyelamatkanmu
dari siksaan Allah.”
Dia juga mengutip beberapa
ungkapan para shahabat, dianataranya : Ibnu Abbas : “Kamu beramal didunia untuk
akhiratmu.” Mujahid : “Beramal dengan mentaati Allah.” Zaid : ”Janganlah kamu
lupa mengutamakan dari kehidupan duniamu untuk akhiratmu, sebab kamu hanya akan
mendapatkan di akhiratmu dari apa yang kamu kerjakan didunia dengan
memanfaatkan apa yang Allah rizkikan kepadamu.”
Dari beberapa pernyataan
shahabat diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “jangan melupakan
nasibmu dari dunia” adalah peringatan jangan lalai terhadap kesempatan untuk
beramal yang tidak lama lagi akan berakhir. Artinya menyuruh manusia agar mampu
menggunakan semua karunia Allah demi keselamatan dan kemaslahatan akhirat.
Dengan demikian, maka
makna ayat ini sangat erat hubungannya antara awal, tengah dan penghujung ayat.
Dan tidak ada hubungan dengan perintah untuk berlomba dalam mencari kehidupan
duniawi atau meningkatkan kemajuan ekonomi. Sebab tanpa perintah, umumnya
manusia terus berlomba untuk meraih kehidupan dunia.
2. As-Sunnah
✔ Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling
baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang
bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar,
dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam
hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan
merugikan orang lain.
✔ Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu
Majah).
✔ Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah
sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR
Ibnu Jarir).
✔ Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz,
Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah.
Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”.
(Q.S. Al-Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum
berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
✔ Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para
nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma.
Para ulama telah sepakat
bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Hukumnya berubah menjadi haram
kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak
menjalankan kewajiban ibadahnya.
Allah
Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya : apabila imam telah naik mimbar dan
muazzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera
memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram
apabila melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan
atau melakukan perbuatan haram.
Allah
Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma’idah 5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi
(ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam
kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang)
sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
C. RUKUN JUAL BELI
Menurut jumhur ulama,
rukun jual beli itu ada empat :
1. Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan kata
antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum
ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan
(keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Ijab qabul dalam bentuk
perkataan dan/atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan
barang dan penerimaan uang).
Menurut fatwa ulama
Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ada ijab qabul tetapi
menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian
bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul. Jual
beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak
disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur
(al-Kahlani, Subul al-Salam, hal. 4).
2. Orang-orang yang
berakad (subjek)
Ada 2 pihak yaitu bai’
(penjual) dan mustari (pembeli).
3. Ma’kud ‘alaih
(objek)
Ma’kud ‘alaih adalah
barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’.
4. Ada nilai tukar
pengganti barang
Nilai tukar pengganti
barang ini yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan
nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit
of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).
D. SYARAT JUAL BELI.
1.
Akad (ijab qabul)
✔ Jangan
ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan
ijab atau sebaliknya.
✔ Jangan
diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini
para ulama berbeda pendapat, diantaranya sebagai berikut:
a. Madzhab Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli
kecuali dengan shigat (ijab qabul) yang diucapkan”. (Al-Jazairi, hal.
155)
Syarat shighat menurut
madzhab Syafi’i :
1. Berhadap-hadapan.
Pembeli dan penjual harus
menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya
yakni harus sesuai dengan orang yang dituju.
Dengan demikian tidak sah
berkata, “Saya menjual kepadamu!”. Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada
Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2. Ditujukan pada seluruh
badan yang akad.
Tidak sah berkata, “Saya
menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.
3. Qabul diucapkan oleh
orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan
qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab
kecuali jika diwakilkan.
4. Harus menyebutkan
barang dan harga.
5. Ketika mengucapkan
shighat harus disertai niat (maksud)
6. Pengucapan ijab dan
qabul harus sempurna.
Jika seseorang yang sedang
bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan, jual beli yang dilakukannya batal.
7. Ijab qabul tidak
terpisah.
Antara ijab dan qabul
tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama yang menggambarkan adanya
penolakan dari salah satu pihak.
8. Antara ijab dan qabul
tidak terpisah dengan pernyataan lain
9. Tidak berubah lafazh
Lafazh ijab tidak boleh
berubah seperti perkataan, “Saya jual dengan 5 dirham”, kemudian berkata lagi,
“Saya menjualnya dengan 10 dirham”, padahal barang yang dijual masih sama
dengan barang yang pertama dan belum ada qabul.
10. Bersesuaian antara
ijab dan qabul secara sempurna
11. Tidak dikaitkan dengan
sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan
dengan sesuatu yang tidak ada hubungan dengan akad.
12. Tidak dikaitkan dengan
waktu
b. Madzhab Hambali
Syarat shighat ada 3 yaitu
:
1. Berada di tempat yang
sama.
2. Tidak terpisah.
Antara ijab dan qabul
tidak terdapat pemisah yang menggambarkan adanya penolakan.
3. Tidak dikatkan dengan
sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan
dengan sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad
c. Imam Malik berpendapat :
“Bahwa jual beli itu telah
sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”. (al-Qurthubi, hal. 128)
Syarat shighat menurut
madzhab Maliki :
1. Tempat akad harus
bersatu
2. Pengucapan ijab dan
qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul
tidak boleh ada pemisah yang mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid
secara adat.
d. Madzhab Hanafi
Syarat shighat :
1. Qabul harus sesuai
dengan ijab
2. Ijab dan qabul harus
bersatu
Yakni berhubungan antara
ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu
e. Pendapat
kelima adalah penyampaian akad
dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu :
“Aqad bi al-mu’athah
ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana
seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia
mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran”.
(al-Jazairi, hal. 156)
2.
Orang yang berakad (aqid)
✔ Baligh dan berakal.
Sehingga tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil, orang gila dan
orang bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta.
Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan”. (Q.S. An-Nisa 4 : 5)
[268]. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak
yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang jahil (tidak dapat mengatur harta
bendanya).
✔ Beragama Islam.
Syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misal
penjualan budak muslim kepada orang kafir sebab kemungkinan besar pembeli
tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah Swt melarang
orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.
Allah Swt berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman”. (Q.S. An-Nisaa 4 : 141)
Syarat aqid menurut 4 madzhab :
a. Madzhab Syafi’i
1. Dewasa atau sadar
Aqid harus balig dan
berakal, menyadari dan mampu memelihara din dan hartanya. Dengan demikian, akad
anak mumayyiz dianggap tidak sah.
2. Tidak dipaksa atau
tanpa hak
3. Islam
Dianggap tidak sah, orang
kafir yang membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan dinul
Islam seperti hadits, kitab-kitab fiqih atau membeli budak yang muslim.
Allah Swt berfirman, “Dan
Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang
mukmin”. (Q.S. An-Nisa’ 4 : 141)
4. Pembeli bukan musuh
Umat Islam dilarang
menjual barang, khususnya senjata kepada musuh yang akan digunakan untuk
memerangi dan menghancurkan kaum muslimin.
b. Madzhab Hambali
1. Dewasa
Aqid harus dewasa (baligh
dan berakal) kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah
mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemashlahatan.
2. Ada keridhaan
Masing-masing aqid harus
saling meridhai yaitu tidak ada unsur paksaan. Ulama Hanabilah menghukumi makruh
bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang
mendesak dengan harga di luar harga umum.
c. Madzhab Maliki
1. Penjual dan pembeli
harus mumayyiz
2. Keduanya merupakan
pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3. Keduanya dalam keadaan
sukarela
Jual beli berdasarkan
paksaan adalah tidak sah.
4. Penjual harus sadar dan
dewasa
Ulama Malikiyah tidak
mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan
membeli mushaf.
d. Madzhab Hanafi
1. Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz
dan berakal secara umum terbagi 3 :
✔
Tasharruf yang bermanfaat secara
murni, seperti hibah
✔
Tasharruf yang tidak bermanfaat
secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil
✔
Tasharruf yang berada di antara
kemanfaatan dan kemudharatan yaitu aktifitas yang boleh dilakukan tetapi atas
seizin wali.
2. Berbilang
Sehingga tidak sah akad
yang dilakukan seorang diri. Minimal 2 orang yang terdiri dari penjual dan
pembeli.
3.
Ma’kud ‘alaih (objek)
Barang yang diperjualbelikan (objek) :
a. Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan
benda-benda haram atau bahkan syubhat.
b. Bermanfaat menurut
syara’.
c. Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan
hal lain, seperti “jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu”.
d. Tidak dibatasi
waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini kepadamu selama 1 tahun” maka
penjualan tersebut tidak sah karena jual beli merupakan salah satu sebab
pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
e. Dapat diserahkan
cepat atau lambat, contoh :
✔
Tidaklah
sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi
✔
Barang-barang
yang sudah hilang
✔
Barang-barang
yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan yang jatuh ke
kolam sehingga tidak diketahui dengan pasti ikan tersebut.
f. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual
barang orang lain :
✔
Dengan tidak seizin pemiliknya
✔
Barang-barang yang baru akan
menjadi pemiliknya
g. Diketahui (dilihat).
Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui
banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran lainnya. Maka tidak sah jual
beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.
Syarat
ma’qud ‘alaih menurut madzhab
:
Madzhab
Syafi’i
1.
Suci
2.
Bermanfaat
3.
Dapat diserahkan
4.
Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5.
Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad
Madzhab
Hambali
1.
Harus berupa harta
Ma’qud
‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’. Ulama
Hanabilah mengharamkan jual beli Al-Qur’an, baik untuk muslim maupun kafir
sebab Al-Qur’an itu wajib diagungkan, sedangkan menjualnya berarti tidak
mengagungkannya.
Begitu
pula mereka melarang jual beli barang-barang mainan dan barang-barang yang
tidak bermanfaat lainnya.
2.
Milik penjual secara sempurna
Dipandang
tidak sah jual beli fudhul, yakni menjual barang tanpa seizin
pemiliknya.
3.
Barang dapat diserahkan ketika akad
4.
Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
Barang
harus jelas dan diketahui kedua belah pihak yang melangsungkan akad.
5.
Harga diketahui oleh kedua belah pihak
6.
Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah
Barang,
harga dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut
menjadi tidak sah, seperti riba.
Madzhab
Maliki
1.
Bukan barang yang dilarang syara’
2.
Harus suci, maka tidak boleh menjual khamr dan lain-lain
3.
Bermanfaat menurut pandangan syara’
4.
Dapat diketahui oleh kedua orang yang berakad
5.
Dapat diserahkan
Madzhab
Hanafi : (Alaudin Al-Kasani, Bada’i
Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syarai’, juz 5, hal. 138-148)
1.
Barang harus ada
Tidak
boleh akad atas barang-barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada,
seperti jual beli buah yang belum tampak atau jual beli anak hewan yang masih
dalam kandungan.
2.
Harta harus kuat, tetap dan bernilai
Yakni
benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
3.
Benda tersebut milik sendiri
4.
Dapat diserahkan
4.
Ada nilai tukar pengganti barang.
Imam
Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai (harga) adalah
dinar emas dan dirham perak.
Ibnu Khaldun rh berkata, “Allah telah menciptakan dua logam mulia, emas dan perak, sebagai standar ukuran nilai untuk seluruh bentuk
simpanan harta kekayaan. Emas dan perak
adalah benda yang disukai dan dipilih oleh penduduk dunia ini untuk menilai
harta dan kekayaan.
Walaupun,
karena berbagai keadaan, benda-benda lain didapat, namun tujuan utama dan
akhirnya adalah menguasai emas dan perak. Semua benda lain senantiasa terkait
perubahan harga pasar, namun itu tak berlaku pada emas dan perak. Keduanya-lah
ukuran keuntungan, harta dan kekayaan”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Syarat uang menurut Imam
Al-Ghazali ada 3 yaitu :
✔ Penyimpan Nilai
(Store of Value)
Yaitu
uang harus bisa mempunyai nilai atau harga yang tetap (stabil).
✔ Satuan Perhitungan/Timbangan (Unit of Account)
Yaitu
uang harus bisa berfungsi sebagai satuan perhitungan atau timbangan (Unit
of Account) untuk menimbang atau menilai suatu barang atau
jasa.
Allah
Swt menjadikan uang dinar dan dirham sebagai hakim dan penengah di antara harta
benda lainnya sehingga harta benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang
dinar dan dirham (menjadi satuan nilai). (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,
hal 222)
✔ Alat Tukar (Medium
of Exchange)
Yaitu
uang harus bisa berfungsi sebagai alat tukar (Medium of Exchange)
untuk melakukan transaksi perdagangan barang atau jasa.
Uang
dinar dan dirham menjadi perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya.
Karena uang tidak dapat memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia
memiliki manfaat bila dipergunakan untuk hal-hal yang lain. (Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, hal 222)
Kenapa
emas dan perak? Menurut Al-Ghazali dikarenakan kedua barang tambang itulah yang
dapat tahan lama dan mempunyai keistimewaan dibanding dengan barang yang lain
serta keduanya mempunyai nilai atau harga yang sama (stabil).
Al-Maqrizi,
ulama abad ke-8 Hijriyah, salah seorang murid Ibnu Khaldun. Beliau memangku
jabatan hakim (qadhi al-Qudah) madzhab Maliki pada masa amirat Sultan Barquq
(784 – 801 H). (Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, hal. 16)
Pada
tahun 791 H, Sultan Barquq mengangkat al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo.
Jabatan tersebut diembannya selama 2 tahun. Pada masa ini, al-Maqrizi mulai
banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan dan
mudharabah sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku,
asal-usul uang dan kaidah-kaidah timbangan. (Hammad bin Abdurrahman al-Janidal,
Manahij al-Bahitsin fi al-iqtishad al-Islamii, 2/208)
Menurut
al-Maqrizi, baik pada masa sebelum atau setelah kedatangan Islam, uang
digunakan oleh umat manusia untuk menentukan harga barang dan nilai upah. Untuk
mencapai tujuan ini, uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak.
(Al-Maqrizi, al-Nuqud al-‘Arabiyah al-Islamiyah wa ‘ilm al-Namyat, hal.
73)
E. Hukum dan Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli
menjadi 2 macam :
1. Jual beli yang sah (shahih)
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik
rukun maupun syaratnya.
2. Jual beli yang tidak sah
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu
syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan
kata lain menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.
Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi 3
yaitu :
1. Jual beli shahih
Adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang
diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli batal
Adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak
sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli
yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
3. Jual beli fasid (rusak)
Adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya tetapi
tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan
oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama
bahwa batal dan fasad adalah sama.
F. JUAL BELI YANG DILARANG DALAM ISLAM
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily
meringkasnya sbb :
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan
oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu ber-tasharruf secara
bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang
tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama
Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah sebab tidak ada
ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak
kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah
satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk
jual beli, juga pengamalan atas firman Allah Swt.
Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika barang yang
dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama
Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan
barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli
fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa
terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah
sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul.
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin
pemiliknya.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang.
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut
ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya,
menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di
kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak
ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan
ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah
mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila
ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli
warisnya.
Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada
harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dll.
g. Jual beli malja’.
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni
untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama
Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.
2. Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada
keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan
qabul, berada di satu tempat dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah.
Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para
ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu’athah
Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan
barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan
shahih apabila ada ijab dari salah satunya.
Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara
lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang
sebagai shighat dengan perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj,
juz 2, hal.3) berpendapat bahwa jual beli harus disertai ijab qabul yakni
dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat sebab keridhaan sifat itu
tersembunyi dan tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya
membolehkan jual beli dengan isyarat bagi orang yang uzur.
Jual beli mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah tetapi
sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya seperti Imam Nawawi. (As-Suyuti,
Al-Asbah, hal. 89)
Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn
Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah
sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada
aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah
seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang
uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang
ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek
(tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat
adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya aqad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika
lebih baik, seperti meninggalkan harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya,
sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang
akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal
menurut jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh
orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih
adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat
dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain
dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi
diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di
udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu
dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli
ikan dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR
Ahmad)
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 macam :
✔ Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang
masih dalam kandungan induknya
✔ Tidak diketahui harga dan barang
✔ Tidak diketahui sifat barang atau harga
✔
Tidak
diketahui ukuran barang dan harga
✔
Tidak
diketahui masa yang akan datang seperti, “Saya jual kepadamu jika fulan
datang”.
✔
Menghargakan
dua kali pada satu barang
✔
Menjual
barang yang diharapkan selamat
✔ Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika
tongkat jatuh maka wajib membeli
✔ Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar
melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melembar
bajunya maka jadilah jual beli
✔
Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau
kain maka wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis
(al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena
bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan,
sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau yang
disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama empat madzhab.
Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua manusia
boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad, sedangkan
menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat
dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus
menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama
Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5
macam :
✔
Harus
jauh sekali tempatnya
✔
Tidak
boleh dekat sekali tempatnya
✔
Bukan
pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
✔
Harus
meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
✔
Penjual
tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum
dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah
melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang
diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah
tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut
jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya
dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya.
Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama,
di antaranya berikut ini :
a. Jual beli riba.
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah tetapi
batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan.
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas
nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas
dari hadits Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Saw mengharamkan jual beli
khamr, bangkai, anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang.
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju
(pasar) sehingga orang yang mencegatnya akan mendapat keuntungan. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh tahrim.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut
ulama Hanafiyah pada waktu adzan pertama. Sedangkan menurut ulama lainnya,
adzan ketika khatib sudah berada di mimbar (adzan kedua).
Ulama Hanafiyah menghukumi makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyah
menghukumi shahih haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama
Malikiyah dan tidak sah menurut ulama Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zhahirnya shahih tetapi makruh.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam
khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab ia
akan membelinya dengan harga yang tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan
membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu”.
Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat.Menurut
ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak yang
melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika
hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
C. Hikmah Disyariatkannya
Jual Beli
1. Pemenuhan kebutuhan
hidup dengan adanya saling tukar menukar (pengganti)
2. Melapangkan persoalan
kehidupan dan tetapnya alam sehingga bisa meredam perselisihan,
perampokan, pencurian, pengkhianatan dan penipuan. (Nailul Authar 5/151)
D. Perbedaan antara Jual
Beli dan Riba
1. Jual beli dihalalkan
oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan.
2. Dalam aktifitas jual
beli, antara untung dan rugi bergantung kepada kepandaian dan keuletan
individu. Sedangkan dalam riba hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
dalam semua aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak
membutuhkan kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi kemandegan, penurunan
dan kemalasan.
3. Dalam jual beli
terdapat 2 kemungkinan untung atau rugi. Sedangkan dalam riba hanya ada untung
dan menutup pintu rugi.
4. Dalam jual beli terjadi
tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua belah pihakSedangkan riba
hanya memberi manfaat untuk satu pihak saja bahkan saling menzalimi atau
merugikan.
E. Macam-Macam Jual Beli.
1. Ditinjau dari pertukaran (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu,
4/595-596) :
a. Jual beli salam (pesanan)
Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan yakni jual beli dengan
cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu kemudian barang diantar belakangan.
b. Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan
barang seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat tukar.
d. Jual beli alat tukar dengan alat tukar
Jual beli alat tukar dengan alat tukar adalah jual beli barang yang biasa
dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti dinar dengan
dirham.
2. Ditinjau dari hukum
a. Jual beli Sah (halal)
Jual beli sah atau shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat.
Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
b. Jual beli fasid (rusak)
Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada
asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli
yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan
pertentangan.
Menurut jumhur ulama fasid (rusak) dan batal (haram) memiliki arti yang
sama. Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi
sah, batal dan fasid (rusak). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa
adillatuhu, 4/425)
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama hanafiyah berpangkal pada
jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan syara’ bedasarkan hadits
Rasul.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa
yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan maka tertolak. Begitu pula
barangsiapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada agama kita, maka tertolak”. (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau jual
beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap, baik
dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang ada suatu
kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’ sehingga tidak sesuai atau
ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti ini adalah rusak tetapi
tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak
saja.
c. Jual beli batal (haram)
Jual beli yang dilarang
dan batal hukumnya adalah sebagai berikut :
1) Jual beli yang menjerumuskan ke dalam riba
i. Jual beli dengan cara ‘Inah dan Tawarruq.
Rafi’ berkata, “Jual beli
secara ‘inah berarti seseorang menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran
bertempo, lalu barang itu diserahkan kepada pembeli, kemudian penjual itu
membeli kembali barangnya sebelum uangnya lunas dengan harga lebih rendah dari
harga pertama.
Sementara itu jika barang
yang diperjualbelikan mengandung cacat ketika berada di tangan pembeli,
kemudian pembeli tersebut menjual lagi dengan harga yang lebih rendah, hal ini
boleh karena berkurangnya harga sesuai dengan berkurangnya nilai barang
tersebut. Transaksi ini tidak menyerupai riba.
Tawarruq artinya daun. Dalam hal ini adalah memperbanyak
harta. Jadi, tawarruq diartikan sebagai kegiatan memperbanyak
uang.
Contohnya adalah apabila
orang yang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan maksud
memperbanyak harta bukan karena ingin mendapatkan manfaat dari produknya.
Barang yang diperdagangkannya hanyalah sebagai perantara bukan menjadi tujuan.
ii. Jual beli sistem salam (ijon).
Bedanya dengan kredit,
kalau salam, barangnya yang diakhirkan, uangnya di depan.
iii. Jual beli dengan menggabungkan dua
penjualan (akad)
dalam dan satu transaksi.
Contohnya penjual berkata,
“aku menjual barang ini kepadamu seharga 10 dinar dengan tunai atau 20 dinar
secara kredit”.
Contoh lain, penjual
berkata, “Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat aku memakai kendaraanmu
selama 1 bulan”.
iv. Jual beli secara paksa.
Jual beli dengan paksaan
dapat terjadi dengan 2 bentuk :
a) Ketika akad, yaitu
adanya paksaan untuk melakukan akad. Jual beli ini adalah rusak dan dianggap
tidak sah
b) Karena dililit utang
atau beban yang berat sehingga menjual apa saja yang dimiliki dengan harga
rendah
v. Jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan menjual sesuatu
yang sudah dibeli dan belum diterima.
Syarat sahnya jual beli
adalah adanya penerimaan, maksudnya pembeli harus benar-benar menerima barang
yang akan dibeli. Sebelum dia menerima barang tersebut maka tidak boleh dijual
lagi.
2) Jual beli yang dilarang dalam Islam
i. Jual
beli yang dapat menjauhkan dari ibadah.
Maksudnya adalah ketika
waktunya ibadah, pedagang malah menyibukkan diri dengan jual belinya sehingga
mengakhirkan shalat berjamaah di masjid.
Dia kehilangan waktu
shalat atau sengaja mengakhirkannya, maka jual beli yang dilakukannya haram
(dilarang).
Sebagian besar orang
menyangka bahwa shalat dapat menyibukkan mereka dari mencari rizki dan jual
beli, padahal justru dengan shalat dan amal shalih-lah yang bisa mendatangkan
barakah dan rahmat Allah Swt.
ii. Menjual
barang-barang yang diharamkan.
Barang yang diharamkan
Allah Swt maka diharamkan pula jual beli barang tersebut.
iii. Menjual
sesuatu yang tidak dimiliki.
Misal ada seorang pembeli
mendatangi seorang pedagang untuk membeli barang dagangan tertentu darinya
sementara barang tersebut tidak ada pada pedagang tersebut.
Kemudian keduanya
melakukan akad dan memperkirakan harganya, baik dengan pembayaran tunai ataupun
tempo dan barang tersebut masih belum ada pada pedagang itu.
Selanjutnya pedagang itu
membeli barang yang diinginkan pembeli di tempat lain lalu menyerahkannya
kepada pembeli itu setelah keduanya ada kesepakatan harga dan cara
pembayarannya baik secara tunai atau tempo.
iv. Jual
beli ‘inah.
Adalah apabila seseorang
menjual suatu barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran tempo
(kredit) kemudian orang itu (si penjual) membeli kembali barang itu secara
tunai dengan harga lebih rendah.
Yang seharusnya kita
lakukan ketika kita menjual barang secara tempo kepada seseorang adalah
hendaknya kita membiarkan orang tersebut memiliki atau menjual barang itu
kepada selain kita ketika dia membutuhkan uang dari hasil penjualan itu.
v. Jual
beli najasy.
Adalah menawar suatu
barang dagangan dengan menambah harga secara terbuka, ketika datang seorang
pembeli dia menawar lebih tinggi barang itu padahal dia tidak akan membelinya.
vi. Melakukan
penjualan atas penjualan orang lain.
Misal ada seseorang
mendatangi seorang pedagang untuk membeli suatu barang dengan khiyar
(untuk memilih, membatalkan atau meneruskan akad) selama 2 hari, 3 hari atau
lebih.
Maka tidak dibolehkan
kepada pedagang lain untuk mendatangi atau menawarkan kepada pembeli dengan
berkata, “Tinggalkanlah barang yang sedang engkau beli dan saya akan memberikan
kepadamu barang yang sama yang lebih bagus dengan harga lebih murah”.
vii. Jual
beli secara gharar (penipuan).
Adalah apabila seorang
penjual menipu saudara semuslim dengan cara menjual kepadanya barang dagangan
yang di dalamnya terdapat cacat. Penjual itu mengetahui adanya cacat tetapi
tidak memberitahukannya kepada pembeli.
3. Ditinjau dari benda (objek), jual beli dibagi menjadi 3 macam (Kifayatul
Akhyar, Imam Taqiyuddin, hal. 329) :
a. Bendanya
kelihatan.
Ialah pada waktu melakukan
akad jual beli, barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli.
Contoh : membeli beras di toko atau pasar.
b. Sifat-sifat bendanya disebutkan dalam janji.
Ialah jual beli salam
(pesanan). Salam adalah jual beli yang tidak tunai. Salam mempunyai arti
meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu. Maksudnya
ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa
tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku syarat
jual beli dan tambahan :
i. Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang
mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar,
ditimbang ataupun diukur.
ii. Dalam akad harus disebutkan segala
sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu. Contoh, kalau
kain, sebutkan jenis kainnya, kualitas nomor 1, 2 atau tiga dan seterusnya.
Pada intinya sebutkan
semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini yang
menyangkut kualitas barang tersebut.
iii. Barang yang akan diserahkan hendaknya
barang-barang yang biasa didapatkan di pasar.
iv. Harga hendaknya ditentukan di tempat akad
berlangsung. (Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid, 1985, hal. 178-179)
c. Bendanya tidak ada
Jual beli benda yang tidak
ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang dalam Islam karena
bisa menimbulkan kerugian salah satu pihak.
Contoh, penjualan bawang
merah dan wortel serta yang lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal
sebab hal tersebut merupakan perbuatan gharar.
“Sesungguhnya Nabi Saw
melarang penjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian
sebelum mengeras.
4. Ditinjau dari subjek
(pelaku).
a. Dengan lisan
b. Dengan perantara
Penyampaian akad jual beli
melalui wakalah (utusan), perantara, tulisan atau surat menyurat sama halnya
dengan ucapan. Penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad.
c. Dengan perbuatan
(saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu
mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul secara lisan.
Seperti seseorang yang
mengambil barang yang sudah dituliskan label harganya oleh penjual, kemudian
pembeli melakukan pembayaran kepada penjual.
Jual beli yang demikian
dilakukan tanpa sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli.
Sebagian Syafi’iyah melarangnya karena ijab qabul adalah bagian dari rukun jual
beli tapi sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam an-Nawawi membolehkan jual
beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara demikian.
5. Ditinjau dari harga.
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah).
b. Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya
(at-tauliyah).
c. Jual beli rugi (al-khasarah).
d. Jual beli al-musawah yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi
kedua orang yang akad saling meridhai.
6. Ditinjau dari pembayaran
a. Al-Murabahah (Jual beli
dengan pembayaran di muka).
b. Bai’ as-Salam (Jual
beli dengan pembayaran tangguh).
c. Bai’ al-Istishna (Jual
beli berdasarkan Pesanan).
※ Ya Allah... semoga yang membaca artikel ini :
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Muliakanlah orangnya
¤ Yang belum
menemukan jodoh semoga lekas dipertemukan
¤ Yang belum
mendapatkan keturunan semoga cepat mendapatkannya
¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.
Aamiin
ya Rabbal'alamin.¤ Semoga tergerak hatinya untuk bersedekah
¤ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
¤ Bahagiakanlah keluarganya
¤ Luaskan rezekinya seluas lautan
¤ Mudahkan segala urusannya
¤ Kabulkan cita-citanya
¤ Jauhkan dari segala Musibah, Penyakit, Prasangka Keji
¤ Jauhkan dari segala Fitnah, Berkata Kasar dan Mungkar.